Hei,
Dulu, dari semester 1 sampe semester 7, aku selalu percaya dengan kata bijak “Skripsi itu mudah, hanya ketakutan kita yang membuatnya sulit”. Itu seolah-olah kita bisa mengerjakan skripsi dengan lancar, kalo kita mampu mengatasi ketakutan kita dan mengatasi 2M tentunya (malas & menunda). Tapi ternyata, pas ngerasain sendiri di semester 8 ini, kayaknya kata bijak itu harus direvisi menjadi “Skripsi itu mudah, (kadang) dosen pembimbing kita yang membuatnya sulit”. Yaa.. nyatanya gak semua dosen pembimbing (benar-benar) peduli dengan proses penyusunan skripsi mahasiswanya. Ada yang perfeksionis, jadi terkesan mempersulit, dan ada juga yang semacam ogah-ogahan membimbing skripsi. Seperti yang saat ini ku alami #curhat. Tapi gak sedikit juga kok, dosen yang sangat welcome dan sangat peduli dengan skripsi mahasiswanya, bahkan juga memberi banyak masukan agar skripsinya cepat selesai dengan baik.
Memang, kalo ditulis secara harfiah, proses penyusunan skripsi akan terlihat simpel, yaitu:
1. Pengajuan judul skripsi
2. Observasi
3. Pengajuan proposal skripsi
4. Seminar proposal skripsi
5. Penelitian
6. Setelah penulisan dianggap sempurna oleh Pembimbing I dan Pembimbing II, mahasiswa diuji hasil tulisan dari penelitian karya ilmiahnya tersebut.
7. Sodaqollahul adzim.
Runtutan proses penyusunan skripsi di atas terlihat simpel karena tidak tercantum kata “revisi” dan “sulitnya ketemu dosen pembimbing”. Oke, mungkin yang kedua, (sulitnya ketemu dosen pembimbing) gak semua mahasiswa mengalaminya, atau boleh dibilang gak semua mahasiswa itu apes seperti aku. Sekilas info tentang Skripsiku. Judulnya “Pengembangan Pembelajaran Penjas Melalui Jejaring Sosial Facebook”. Karena harus menyesuaikan judul dan sistem baru dari fakultas, akhirnya aku kebagian dosen pembimbing yang S3 (Super Sibuk Sendiri).
<<< sms ke dosen >>>
<<< 2 bulan jam kemudian >>>
<<< bales >>>
<<< "...." >>>
Andai saja dosen yang sulit ditemui itu bisa merasakan bagaimana perihnya perasaan mahasiswa kalo ada sanak saudara, kerabat, atau tetangga yang nanya :
“Sekarang udah semester berapa?”
“Semester 8”
“O.. jadi sebentar lagi lulus donk..”
*ngelus dada* *dada Jupe*
Mungkin ini salah satu momen yang membuat orang bisa menganggap baygon adalah camilan terlezat. Belum lagi kalo ada yang nanya "Skripsinya udah nyampe mana??" itu rasanya kayak kita lagi enak-enak tengkurep, tiba-tiba ada yang ngolesin balsem di pan*at kita. PERIH bung..
Oalah.. demi gelar ‘Sarjana’. Tapi kalo dipikir-pikir rugi juga, 7 semester yang menguras pikiran dan tenaga mampu terlewati, masak harus diakhiri dengan menyerah pada skripsi yang menguras hati. Memang, kesuksesan seseorang bukan dilihat dari seberapa cepat dia menyelesaikan skripsi/kuliahnya. Tapi alangkahnya indahnya bila kita memulai kehidupan yang sebenarnya ini dengan “lulus tepat waktu”. Orang tua mana yang nggak bangga, melihat anaknya lulus tepat waktu. Pacar mana yang nggak bangga, melihat pujaan hatinya lulus tepat waktu. Kepala RT mana yang nggak bangga, melihat warganya lulus tepat waktu. Tukang tambal ban mana yang nggak bangga melihat langgananya lulus tepat waktu. Oke, cukup.
Dari 1 bulan menjalani peran sebagai mahasiswa korban pembimbing skripsi, setidaknya aku bisa mengambil hikmah. Ternyata, Skripsi itu nggak hanya memerlukan kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional (ini yang susah). Maka, mulai dari sekarang, belajarlah mencintai skripsimu, kalo nggak bisa, belajarlah mencintai dosen pembibingmu (ini yang ngawur).
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. (QS. Al-Insyirah : 7)
Sekian.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar